• home
Home » » Akibat Tidak Bisa Memberikan Keturunan

Akibat Tidak Bisa Memberikan Keturunan



Lima tahun telah berlalu semenjak kami menjadi suami istri. Waktu terasa begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja. Karena sampai saat ini, aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.

Suamiku adalah anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, sehingga aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.

Alhamdulillah, saat itu suamiku mendukungku. Ia menganggap bahwa Allah belum memercayai kami untuk menjaga titipan-Nya, sehingga buah hati itu tak juga muncul di tengah keluarga kami.

Namun keluarganya mulai resah. Sejak awal pernikahan kami, ibu dan adik suamiku tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku. Di depan suamiku mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Namun di belakang suamiku, aku dihina-hina oleh mereka.

Suatu ketika, tepat satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan. Mobilnya hancur. Namun, alhamdulillah, suamiku selamat dari maut.

Ia dirawat di rumah sakit, saat belum sadarkan diri. Aku selalu menemaninya siang dan malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit ke tempat aku melakukan aktivitas sosialku. Aku sibuk mengurus suamiku yang sakit, karena kecelakaan.

Beberapa waktu ketika aku kembali ke rumah sakit, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya, dan teman-teman suamiku. Dan di saat itu juga, aku melihat ada seorang wanita yang mengobrol dengan ibu mertuaku dengan sangat akrab. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah, suamiku ternyata sudah sadar. Aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar. Namun aku tak boleh sedih di hadapannya, segera kuusap air mataku sebelum masuk ke ruang itu.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil berucap, "Assalammu’alaikum" dan mereka menjawab salamku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari matanya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata, "Assalammu’alaikum." Ia pun menjawab salamku dengan suaranya yang lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun tersenyum melihat wajahnya.

Lalu, Ibu mertuaku berbicara padaku: "Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri."

Seketika, aku teringat cerita dari suamiku. Dulu ada teman baiknya yang pernah cinta padanya. Perempuan itu bernama Desi. Dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Kini, akhirnya aku bertemu dengan orang itu. Aku pun berjabat tangan dengan sopan.

Di dalam ruangan tersebut aku tak banyak bicara, karena tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku lebih memilih sibuk membersihkan dan mengobati luka-luka di kepala suamiku. Namun baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik iparku yang mengajakku keluar. Ia minta ditemani ke kantin. Suamiku pun memberi ijin. Kemudian aku pun menemaninya. Namun ketika sampai di luar ruangan, adik iparku berkata, "Lebih baik kau pulang saja, ada kami yang menjaga abang di sini. Kau istirahat saja."

Namun anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku, dengan alasan suamiku harus banyak beristirahat, karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengan adik iparku, mengapa aku tidak diijinkan berpamitan dengan suamiku. Namun tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan mengatakan hal yang sama. Dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya. Suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membelanya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.

Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan untuk menjenguk suamiku, sampai ia kembali dari rumah sakit. Aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis, mengapa mereka sangat membenciku?

Hari itu, aku menangis tanpa sebab. Yang ada di benakku hanyalah bahwa aku takut kehilangannya. Aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang. Ia baru saja selesai sarapan. Ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang berenang di kolam air mancur.

Aku bertanya, "Ada apa kamu memanggilku?"

Ia berkata, "Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang."

Aku menjawab, "Ya, Sayang. Aku tahu. Aku sudah mengemasi barang-barangmu di travel bag dan kamu sudah membeli tiket, bukan?"

"Ya, tapi aku akan lama di sana. Sekitar 3 minggu. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mamaku," jawabnya tegas.

"Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu di sana," tanyaku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa

"Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti," jawabnya tegas.

"Sekarang aku ingin seharian dengan kamu, karena nanti 3 minggu kita tidak bertemu, ya kan?", lanjutnya lagi sambil memelukku dan mencium keningku.

Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi aku tak boleh menunjukkan padanya.

Aku bahagia karena dimanja dengan sikap suami yang penuh dengan rasa sayang dan cinta, walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja. Padahal, aku ingin bersama suamiku. Namun keluarganya tidak menyukaiku dan cemburu padaku, karena suamiku sangat sayang padaku. Kemudian aku memutuskan agar ia saja yang pergi. Selain itu, kami juga harus berhemat dalam pengeluaran kami.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang. Ia menatapku dan menghapus air mata yang jatuh dipipiku. Aku memeluk erat dirinya. Hatiku bergumam tak merelakan dia pergi, seakan terjadi sesuatu. Namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah ditinggal pergi selama itu, karena kami selalu bersama-sama ke mana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman? Biasanya, hanya pembantu sajalah teman mengobrolku. Hatiku sedih kaena akan ditinggal pergi olehnya.

Sampai keesokan harinya, aku terus menangis. Menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman. Aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.

Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti dililit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.

Aku menangis. Apa lagi yang bisa aku banggakan? Mertuaku akan semakin menghinaku. Suamiku yang malang, dia selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku. Namun, aku tak bisa memberikannya keturunan. Aku hanya bisa memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku. Aku selalu menunggu dan bertanya-tanya, "Kapankah ia akan pulang?" Aku tak tahu. Sementara aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah, jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku, jika ia selalu marah-marah terhadapku? Aku memilih untuk menutupi keadaanku dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.

Lebih baik, aku bercerita nanti ketika ia sudah pulang dari Sabang. Setiap hari, aku menanti suamiku pulang. Hari demi hari aku hitung. Sudah 3 minggu suamiku di Sabang. Malam itu, ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk. Kubuka kotak masuk pesan ponselku, ternyata dari suamiku. Ia menulis, "Aku sudah beli tiket untuk pulang. Aku pulangnya satu hari lagi. Aku akan kabarin lagi." Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik itu. Hari yang aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaan suamiku untuk menyambutnya pulang. Nanti aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yang memburuk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya ke depan teras. Aku membungkuk untuk melepaskan sepatu dan kaos kakinya. Lalu kucuci kedua kakinya. Aku tak mau ada setan yang masuk ke rumah kami.

Setelah itu, aku pun berdiri langsung mencium tangannya, tapi apa reaksinya? Masya Allah, ia tidak mencium keningku. Ia hanya diam dan langsung naik ke ruangan atas. Kemudian dia mandi dan tidur tanpa menanyakan kabarku. Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya lalu aku tidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasanya kami selalu berjamaah, tapi karena melihatnya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya. Lalu, aku shalat Tahajud 8 rakaat plus witir 3 rakaat.

Aku mendengar suara mobilnya. Aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami. Dia sudah bersiap-siap pergi. Aku berteriak memanggilnya, tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari ke bawah tanpa memedulikan darah yang bercecer dari rahimku. Aku mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi. Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengannya? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon ke rumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya. Aku bercerita dan bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng, ia menjawab, "Lo pikir aja sendiri!" Telepon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya? Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku?

Semakin hari, ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja. Aku selalu diintrogasinya. Dia selalu bertanya, aku dari mana dan mengapa pulang terlambat. Ia bertanya dengan nada yang keras. Suamiku telah berubah.

Bahkan, yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat bahwa bagaimana pun salahnya seorang suami, statusnya tetap di atas para istri, dan harus tetap dihormati. Itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdoa semoga suamiku sadar akan prilakunya.

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti perubahan sikapnya. Kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan. Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun hubungan kami seperti itu, aku tetap melayaninya dan menyiapkan segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan sekali pun ia tak pernah bertanya perihal obat yang aku minum. Kebahagiaanku telah sirna. Harapan untuk menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Aku bersyukur punya penghasilan sendiri dari aktivitasku sebagai seorang guru ngaji. Jadi, aku tak perlu meminta uang padanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.

Sungguh, suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku. Setiap aku bertanya, ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam, suamiku memanggilku. "Ya, ada apa Yah!" sahutku dengan memanggil nama kesayangannya "Ayah".

"Lusa kita siap-siap ke Sabang," jawabnya tegas.

"Ada apa? Mengapa?" Sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah, suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar. Dia membentakku. Sehingga, tak ada lagi kelanjutan diskusi di antara kami. Dia mengatakan, "Kau ikut saja jangan banyak tanya!"

Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak kukenal lagi.

Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah, dan sudah dua tahun ia menjadi orang asing bagiku. Kulihat kamar kami yang dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin. Lebih dingin daripada batu es. Aku menangis dengan kebingungan. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.

Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, bicara dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..

Kami telah sampai di Sabang. Aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur dan terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul di sana,termasuk ibu dan adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah di dalam kamar tua itu. Ia langsung keluar kamar dan bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yang berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggilku untuk bersegera berkumpul di ruang tengah. Aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah jaman peninggalan Belanda.

Kemudian aku duduk di samping suamiku. Suamiku menunduk penuh dengan kebisuan. Aku tak berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling dihormati, membuka pembicaraan.

"Baiklah, karena kalian telah berkumpul, Nenek ingin bicara dengan kau, Fisha." Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam. "Ada apa ya Nek?" Sahutku dengan penuh tanya.

Nenek pun menjawab, "Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun. Sampai saat ini, kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!" Aku menangis. Untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?

"Sebenarnya, kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu. Sebelum kau menikah dengannya. Namun, Fikri anak yang keras kepala, tak mau diatur, dan akhirnya menikahlah ia dengan kau." Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua. Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang sedang menunduk. "Dan aku dengar dari ibu mertuamu, kau pun sudah berkenalan dengannya", neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamiku hanya terdiam, tapi aku melihat air matanya mengalir. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.

Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang adalah, "Kau maunya gimana? Kau dimadu atau diceraikan?" Masya Allah, kuatkan hati ini. Aku ingin jatuh pingsan. Hatiku seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku?

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di Pulau Kayu. Mereka mengira aku sangat bahagia.

"Fish, jawab!." Dengan tegas, Ibunya langsung memintaku untuk menjawab. Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar, aku menjawab dengan tegas, "Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui batin. Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru di rumah kami."

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Pada saat itu juga, suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suamiku, "Ayah, siapakah yang akan menjadi sahabatku di rumah kita nanti, Yah?" Suamiku menjawab, "Dia, Desi!"

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, "Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?"

Ayah mertuaku menjawab, "Pernikahannya 2 minggu lagi."

"Baiklah kalo begitu, saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok."

Setelah berbicara seperti itu, aku permisi untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi menahan air mata, aku berjalan sangat cepat. Aku buka pintu kamar dan langsung duduk di tempat tidur. Aku ingin berteriak, tapi aku sendiri di sini. Tak kuat rasanya menerima hal itu. Cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku.

Apakah karena ini, suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun terakhir? Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku. Aku bercermin sambil bertanya-tanya, "Sudah tidak cantikkah aku?" Kuambil sisirku. Aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi. Rambutku sudah hampir habis. Kepalaku sudah botak di bagian tengahnya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ternyata suamiku yang datang. Ia berdiri di belakangku. Tak kuhapus air mataku, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, "Terima kasih, Ayah. Kamu memberi sahabat kepadaku. Jadi, aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya, kan?"

Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku, tapi tak sedikit pun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku. Dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku bertanya, "Mengapa ia sangat cuek?" Dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, "Sudah malam, kita istirahat, yuk!" "Aku shalat Isya dulu, baru aku tidur", jawabku tenang.

Dalam sholat dan tidurku, aku menangis. Kuhitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku dengan rasa sayang dan cintanya.

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di laptop, aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku. Aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas. Apa salahku, sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku? Aku simpan curahan hatiku itu di laptop dengan judul, "Aku Mencintaimu Suamiku."

Hari pernikahan telah tiba. Aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri di dekat jendela. Aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama, lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku. "Apakah kamu sudah siap?"

Kuhapus air mata yang menetes di wajahku sambil berkata: "Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu hendak membawa ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu. Lalu, ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin, bacakan doa di ubun-ubunnya, sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu...," perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu. Aku ingin menagis dengan keras.

Tiba-tiba, suamiku berkata, "Lalu apa, Bunda?" Aku kaget mendengar ucapannya. Yang tadinya aku menunduk, seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar. "Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?" pintaku untuk menyakini bahwa kupingku tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata, "Baik akan ayah ulangi. Lalu apa Bunda?" katanya sambil mengelus wajah dan menghapus air mataku.

Dia tersenyum sambil berkata, "Kita liat saja nanti, ya?!" Dia memelukku dan melanjutkan, "Bunda adalah wanita yang paling kuat yang Ayah temui, selain mama."

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, "Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah ke mana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah. Aku kangen dengan manjanya Ayah. Aku kesepian, Ayah. Dan satu hal lagi yang Ayah harus tahu, bahwa aku tidak pernah berzina! Dulu, waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya. Namun setelah 4 bulan bersama Ayah, baru bisa aku terima, jika yang di hadapanku saat itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah." Aku langsung bersujud di kakinya dan mencium kaki imamku sambil berkata, "Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah." Saat itu juga, diangkatnya badanku. Ia hanya menangis.

Ia memelukku sangat lama, dua tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit. Ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, "Bunda baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan penuh khawatir. Aku pun menjawab, "Bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah membuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang." Karena dia akan menikah, aku tak mau membuatnya khawatir. Dia harus khusyuk menjalani prosesi akad nikah tersebut.

Setelah tiba di masjid, ijab kabul pun dimulai. Aku duduk di seberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu. Hatiku cemburu. Aku ingin berteriak dan mengatakan, "Ayah jangan!", tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab kabul tersebut. Begitu ijab kabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati, aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya, aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku. Mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh. Mungkin mereka melihat wajahku selalu tersenyum, tapi di balik itu, hatiku menangis.

Sampai di rumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu, Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku. Tak seperti aku dahulu, yang dimusuhi.

Malam itu aku tak bisa tidur. Bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar.

Saat sepertiga malam, aku keluar untuk berwudhu. Aku melihat sosok lelaki yang mirip suamiku tidur di sofa ruang tengah. Kudekati, lalu kulihat. Masya Allah, suamiku tak tidur dengan wanita itu. Ia ternyata tidur di sofa. Aku duduk di sofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah. Tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

"Kamu datang ke sini, aku tahu," ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan mengajaknya shalat Lail. Setelah shalat ia berkata, "Maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu. Kamu menderita karena egoku. Besok kita pulang ke Jakarta. Biar Desi pulang dengan mama, papa dan adik-adikku"

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Namun ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur, ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja. Sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah, apakah Engkau akan menyuruh Malaikat Maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saatini? Namun, bisakah Engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini?

Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus?" Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, "Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?"

"Aku kangen sama kamu, Bunda. Aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois." Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, "Bun, Ayah minta maaf telah menelantarkan Bunda. Selama Ayah di Sabang, Ayah dengar kalau Bunda tidak tulus mencintai Ayah. Bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah. Dan satu lagi, Ayah pernah melihat sms Bunda dengan mantan pacar Bunda. Isinya kalau bunda gak mau berbuat seperti itu dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip ("seperti itu"). Ayah ingin ngomong, tapi takut Bunda tersinggung dan Ayah berpikir kalau Bunda pernah tidur dengannya sebelum Bunda bertemu Ayah. Ayah dimarahi oleh keluarga Ayah, karena ayah terlalu memanjakan Bunda."

Hatiku sakit ketika difitnah oleh suamiku. Ketika tidak ada kepercayaan di dalam dirinya, hanya karena ucapan keluarganya, yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, "Aku sudah ceritakan itu kan, Yah? Aku tidak pernah berzina dan aku mencintaimu setulus hatiku. Jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang ingin meminangku dan lebih mapan darimu waktu itu, Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu."

Entah aku harus bahagia atau sedih karena sahabatku sendirian di kamarpengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta keluarganya. Karena aku tak mau mati dengan hati yang penuh dengan rasa benci.

Keesokan harinya...

Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing. Rahimku sakit sekali. Aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main. Ia langsung menggendongku dan membawaku ke rumah sakit. Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku. Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mataku, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat dan mengatakan, "Bunda, Ayah minta maaf..." Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?

Aku berkata dengan suara yang lirih, "Yah, Bunda ingin pulang. Bunda ingin bertemu kedua orang tua Bunda. Anterin Bunda ke sana ya, Yah. Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah! Bunda sayang banget sama Ayah."

Tiba-tiba saja, kakiku sakit, sangat sakit. Sakitnya semakin ke atas. Kakiku sudah tak bisa bergerak lagi. Aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku.

Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya ketika ia mengalami kesulitan, dari saat kami berkenalan sampai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.

Untuk Ibu mertuaku: "Maafkan aku telah hadir di dalam kehidupan anakmu, sampai aku hidup di dalam hati anakmu. Ketahuilah Ma, dari dulu aku selalu berdoa agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku di depan suamiku, apa engkau punya buktinya, Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku, Ma? Fikri tetap milikmu, Ma. Aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu. Dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku? Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku, menantumu, kau bersikap sebaliknya."

Setelah kubuka laptop, kubaca curhatan istriku.

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku? Aku dihina oleh mereka, Ayah. Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu? Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan. Aku menegurnya karena dia adik iparku, tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaan. Sangat terlihat, Ayah.

Namun ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis, dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu, Ayah?

Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya, Yah..

Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah. Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi danibunya. Aku tak mau sakit hati lagi. Ya Allah, kuatkan aku, maafkan aku. Engkau Maha Adil. Berilah keadilan itu padaku, Ya Allah.

Ayah sudah berubah. Ayah sudah tak sayang lagi padaku. Aku berusaha untuk mandiri, Ayah. Aku tak akan bermanja-manja lagi padamu. Aku kuat Ayah, dalam kesakitan ini. Lihatlah Ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku. Aku bisa melakukan ini semua sendiri, Ayah.

Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui. Namun aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri. Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu. Mengapa harus Desi, yang menjadi maduku? Ayah, aku masih tak rela. Tapi aku harus ikhlas menerimanya.

Pagi nanti, suamiku akan melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku.

Ayah, aku kangen Ayah..

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda. Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini. Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu walau sakit tertusuk duri. Bunda tetap cantik, selalu tersenyum di saat tidur. Bunda akan selalu hidup di hati ayah.

Bunda, Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah. Desi sangat berbeda denganmu. Ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya. Kakiku pun tak pernah dicucinya. Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama dua tahun. Bunda sakit pun aku tak peduli, kau hidup dalam kesendirianmu. Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus. Sekarang Ayah sadar, bahwa Ayah sangat membutuhkan bunda.

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui. Aku menyesal telah asyik dalam ke-egoanku. Bunda, maafkan aku. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang. Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu. Aku selalu mengiyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka.

Maafkan aku. Ketika kau difitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja. Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana? Apakah Bunda tetap menanti ayah di sana? Tetap setia di alam sana? Tunggulah Ayah di sana, Bunda. Bisa, kan? Seperti Bunda menunggu Ayah di sini. Aku mohon. Ayah Sayang Bunda.

Sumber : http://kisah-kisahmenyentuhhati.blogspot.com
Silahkan Bagikan jika bermanfaat...

0 comments:

Post a Comment