• home

Sebuah Kisah Wanita Karir



"Saya adalah seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah perusahaan multinasional. Mungkin Anda menganggap saya termasuk orang yang berhasil dalam karir. Namun sungguh, seandainya saya boleh memilih, maka saya tidak akan menjadi seperti ini dan menganggap apa yang telah saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh, hidup saya hancur berantakan karenanya. Suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan, karena memikirkan musibah ini. Putra saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih menjalani perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan. Dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh, apa lagi yang bisa saya harapkan?

Maya mengalami nasib tragis, karena dia terguncang dengan meninggalnya Bi Inah, pembantu kami. Ia pun terjerumus dalam pemakaian narkoba. Mungkin terdengar aneh, meninggalnya seorang pembantu bisa membawa dampak yang begitu hebat pada putri kami.

Harus saya akui bahwa Bi Inah sudah seperti keluarga bagi kami. Dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu, ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, Bi Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya, yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya Bi Inah. Berlembar-lembar buku hariannya berisi tentang hal itu.

Padahal ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu), Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya: "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit." Hanya itu saja.

Sungguh, hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Namun saya akui, ini semua karena kesalahan saya. Saya hanya menyediakan sedikit waktu untuk Doni, Maya, dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor. Otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan daripada keadaan mereka. Saya berangkat pukul 07:00 dan baru sampai di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai di rumah, rasanya sudah begitu lelah untuk memikirkan urusan mereka.

Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja. Ketika hari Senin tiba, saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA. Namun selalu saya menolak. Saya menganggap cara berpikir ibu terlalu kuno.

Memang, ibu saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami, 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi, karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Sedangkan karir dan penghasilan ayah hanya biasa-biasa saja ketika itu.

Jujur, saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan fokus mengurus Doni dan Maya. Namun selalu saja muncul perasaan, bagaimana kebutuhan bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja? Apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? Meski sebenaranya, suami saya cukup mapan dalam karir dan penghasilan.

Biasanya setelah dinasehati ibu, saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya. Namun tidak lebih dari dua minggu, semuanya kembali seperti asal, urusan kantor dan karir menjadi fokus saya. Kembali saya beranggapan masih bisa membagi waktu untuk mereka. Toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi. Itu semua di luar kendali saya. Semua berjalan begitu cepat, sebelum saya sempat tersadar.

Maya, anak yang semula begitu manis berubah menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! Sebuah sindiran dan protes dari Maya selalu terngiang di telinga hingga saat ini. Waktu itu Bi Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putra satu-satunya, setelah suaminya meninggal. Namun karena Maya dan Doni keberatan, maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.

Pengorbanan Bi Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi. Setelah tiba-tiba jatuh sakit selama kurang lebih dua minggu, Bi Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya, saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika Bi Inah berada di Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar Bi Inah dibawa ke Singapura untuk berobat, setelah dokter di sini mengatakan bahwa kanker Bi Inah sudah masuk stadium 4. Usul Doni kami tolak, hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya mengetahuinya betapa berartinya Bi Inah buat mereka. Ia sudah seperti ibu kandungnya, yang menggantikan tempat saya. Seolah saya hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia. Tragis!

Beberapa bulan yang lalu,kami sekeluarga ke desa Bi Inah. Atas desakan Maya, kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah, setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu, padahal biasanya ia paling susah diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya.

Di foto "keluarga" itu tampak Bi Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.

Setelah Bi Inah meninggal, Maya begitu terguncang dan shock. Kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan. Setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.

Di halaman buku harian Maya, penyesalan dan air mata tercurah. Maya menulis:

"Ya Tuhan, kenapa Bi Inah meninggalkan Maya. Terus siapa yang bangunin Maya? Siapa yang nyiapin sarapan Maya? Siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah? Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa? Siapa tempat Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah? Siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur? Ya Tuhan, Maya kangen banget sama Bi Inah".

Air mata saya menetes membaca goresan pena Maya. Bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan Bi Inah?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat, tidak mungkin bisa kembali. Seandainya semua bisa diputar ke belakang, saya rela berkorban apa saja untuk itu.

Kadang saya merenung, sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar, ini realitas dan kenyataan yang terjadi.

Sungguh, saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapa pun, tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini, karena sungguh tiada terbayang beratnya.

Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/terapi untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman, saya beranikan diri untuk menulis ini semua. Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya, saya berharap semoga ada yang memetik manfaatnya. Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni. Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanah-Nya pada saya.

Dan di setiap doa yang saya lantunkan, saya selalu memohon "Ya Tuhan, seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisi-Mu".

Sumber : http://terimakasihibu.blogspot.com/2011/03/kisah-nyata-dari-seorang-wanita-karir.html

Perjalanan Berharga



Aku, seorang muslimah periang (setidaknya, begitulah yang tampak dari luar), berusia 22 tahun. Hidupku penuh dengan kesedihan. Sejak kecil sampai tumbuh besar jarang kukecap bahagia. Namun kukelabui dunia dengan sosokku yang ceria dan penuh canda. Seringkali teman-temanku bertanya, "Ya ukhty, bagaimana caranya supaya tidak pernah sedih seperti anti?" Hanya senyum yang bisa kuberi untuk menjawab pertanyaan, yang sesungguhnya pun ingin kutanyakan pada mereka yang hidupnya bahagia tanpa cela.

Namun sudahlah, takkan kuceritakan kisah sedih masa kecilku. Aku hanya akan mengisahkan pencarianku akan kebahagiaan.

Dua tahun lalu, tepatnya saat usiaku 20 tahun, aku mulai berpikir untuk melepas kesendirian. Niatku pun kusampaikan pada seorang muslimah senior, yang memang sudah beberapa kali menawariku untuk "ta'aruf" dengan beberapa ikhwan. Namun saat itu, semuanya kutolak karena berbagai alasan.

Sampai aku mengenalnya, lewat sebuah situs pertemanan. Dia, Ubaid (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Timur Tengah. Sosoknya begitu dewasa, santun, lagi berilmu. Segala yang kucari ada padanya. Sayangnya, dia sudah beristri dan memiliki seorang anak. Kutepis hasratku untuk mengenalnya lebih jauh.

Hari demi hari, entah kenapa aku semakin kagum padanya. Walau belum pernah bertatap muka, tapi diskusi kami lewat "chat", kedalaman ilmunya, keindahan susunan kata-katanya, sungguh meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatiku. Aku mulai jatuh hati padanya. Ubaid, pria beristri itu!

Ternyata rasaku tak bertepuk sebelah tangan. Hari selanjutnya ia menelponku dan ia menanyakan pandanganku tentang poligami. Aku menjawab bahwa poligami adalah sunah. Sunah yang dibenci kebanyakan orang. Oleh sebab itu, aku kagum pada mereka yang bisa menjalankannya. Pada muslimah tangguh yang mampu mengalahkan egoisme dan "hati"nya untuk berbagi orang yang dicintainya. Bukankah tak akan sempurna iman seseorang sampai ia mampu memberikan pada saudaranya apa yang dia inginkan untuk dirinya sendiri? Blah blah blah, panjang lebar penjelasanku saat itu.

Ubaid mendengarkan, lalu berkata: "Seandainya semua istri berpikiran seperti anti. Maukah anti menjadi permaisuri kedua di istanaku?"

Semburat jingga langit sore itu menjadi saksi kebahagiaanku mendengar permintaannya. Namun syukurlah logikaku masih berjalan. Kukatakan padanya "Bagaimana mungkin antum meminta ana menjadi istri antum, sedangkan bagaimana rupa ana pun antum belum tahu? Juga bagaimana nanti respon keluarga ana dan keluarga antum, mungkinkah mereka akan menerima?" Dia hanya diam.

Lalu aku kembali bertanya: "Apakah istri antum mengetahui, antum ingin berta’addud?" Dia menjawab, "Tidak, tapi pemahamannya sudah baik, insya Allah istri ana akan menerima." Aku tersenyum mendengarnya. Lalu kami pun menyudahi percakapan sore itu.

"Lebih baik kamu ga usah nikah selamanya daripada jadi istri kedua!" Teriak ibuku, saat kutanyakan pendapatnya tentang poligami. Padahal aku belum menanyakan bagaimana pendapatnya, jika akulah perempuan yang dipoligami itu.

Kuutarakan keberatan ibuku kepada Ubaid. Ibuku memang sering melihat contoh poligami orang-orang tidak berilmu yang hanya mengedepankan nafsu. Itu sebabnya beliau sangat menentang. Walau berpuluh kali kukatakan pada ibuku bahwa poligami yang didasari ilmu dan ketakwaan pada Allah tentu akan berbeda cerita.

Ubaid memintaku untuk terus menyakinkan ibuku sampai beliau mau menerima syariat ta’addud. Dia pun berjanji akan melakukan hal yang sama pada istrinya. Meyakinkannya untuk rela berbagi denganku.

Pelan namun pasti, ibuku akhirnya luluh. Beliau tidak lagi mencaci pelaku poligami. Apalagi setelah kuterangkan tentang hukum menolak syari’at atau mengingkari ayat Al-Qur'an. Begitulah ibuku, menentang di awal, kemudian luluh setelah hujjah di tegakkan. Alhamdulillah, Semoga beliau selalu dalam lindungan dan rahmat-Nya.

Kusampaikan kabar gembira itu pada ubaid lewat sebuah pesan singkat. Ia pun membalasnya: "Alhamdulillah, insya Allah liburan musim panas ini, ana akan menikahi anti." Senang hatiku tak terkira.

Empat bulan masa penantian terasa begitu lamaaaa. Tertatih menjaga hati. Karena memang cara ta’aruf kami tidak sepenuhnya benar. Kami sering berkomunikasi lewat chat, telepon, dan sms. Astaghfirullah.

Hari yang dinanti pun tiba. Ubaid datang ke Indonesia. Sendiri, tidak dengan anak istrinya. Pertemuan pertama, semua masih terasa sempurna. Begitu pun saat dia meminangku pada kedua orang tuaku. Sosoknya yang "charming" membuat orang tuaku seolah lupa dengan statusnya yang sudah menikah dan memiliki seorang anak. Hingga di akhir pertemuan itu seorang kerabat mengingatkan bagaimana dengan istri Ubaid. Karena Ubaid meyakinkan bahwa pernikahan kami atas izin dan restu istri pertamanya, orang tuaku akhirnya menyerahkan segala keputusan kepadaku. Tentu saja aku menerimanya. Dengan hati berbunga!

Ikhwan nan lucu, cerdas, berilmu dan tampan itu, akan menjadi suamiku. Gadis mana yang tak bahagia dipinang pria sepertinya?

Setelah tanggal disepakati, Ubaid pamit untuk pulang ke kampung halamannya dan menjemput orang tuanya. Dia akan kembali lagi bulan depan, karena banyak jadwal mengisi kajian di kampung halamannya selama liburan musim panas.

Pada tanggal yang disepakati, Ubaid datang ke rumah. Namun tidak dengan orang tuanya. Orang tuanya ternyata tidak merestui rencana pernikahan kami. Orang tuaku pun tidak akan merestui, jika pernikahan ini tidak mendapat restu dari keluarga Ubaid. Buyar sudah rencana kami untuk menikah.

Ubaid tidak juga mendapat restu orang tuanya sampai masa liburannya berakhir. Dia pun kembali ke Timur Tengah untuk melanjutkan studi, dan tentu saja untuk kembali pada istri dan anaknya. Cemburukah aku? Ah, aku bahkan tak berhak sedikitpun untuk cemburu!

Aku hanya bisa menangis dan menangis. Ingin melupakannya saja, tapi rasa untuknya sudah terhujam sedemikian dalam. Astaghfirullah. Ampuni aku, ya Allaah.

Ubaid memintaku untuk menunggu. Dia berjanji akan menikahiku musim panas tahun depan. Aku yang dungu pun menunggu. Setahun berlalu. Selama itu, beberapa proposal taaruf sudah kutolak dengan alasan "sudah ada calon". Intensitas komunikasiku dengan Ubaid sudah jauh berkurang. Selain karena kesibukannya menghadapi ujian, juga demi menjaga hubungan kami agar tidak melewati batas.

Hingga tiba masa yang kunantikan. Liburan musim panas tahun berikutnya. Ubaid pulang ke Indonesia dengan istri dan dua anaknya. Ya, dua anaknya. Ternyata istrinya baru saja melahirkan anak kedua mereka.

Kunantikan janjinya. Pekan pertama, kedua, dan ketiga. Kapankah Ubaid datang dan menikahiku? Namun sedikit pun tak ada kabar darinya. Lalu aku menelepon temanku, yang juga tetangganya.

Temanku mengabarkan bahwa Ubaid sedang menjaga istrinya di Rumah Sakit. Ternyata pekan lalu, istrinya mencoba bunuh diri dan mengancam akan membunuh bayinya setelah mengetahui rencana pernikahan kami. Allahul musta’an.

Saat itu juga kumantapkan niatku untuk mengakhiri semuanya. Walau sedikit terlambat, akhirnya aku tahu. Ternyata Ubaid tidak pernah menyatakan niatnya menikahiku kepada istrinya. Dia berencana melakukannya secara diam-diam. Dia juga tidak pernah memberitahuku bahwa istrinya mengidap depresi berat.

Singkat kata, aku menyiakan 1,5 tahun usiaku untuk menunggu seseorang yang tak layak kutunggu. Astagfirullah.

Sumber : http://gugundesign.wordpress.com/2011/01/20/izinkan-aku-jadi-bagian-cinta-suamimu-kisah-nyata-poligami-2/

Jalan Hidayah



Setamat sekolah dan kuliah di jurusan Jurnalistik Fakultas Sastra, aku hidup bersama nenekku, yang merupakan ibu dari seniman Ahmad Muzhir, pamanku.

Aku menelusuri jalan-jalan di daerah Zamalik dan bolak-balik ke klub, memamerkan kecantikanku pada mata binatang dengan dalih kebebasan dan peradaban. Nenekku yang sudah tua tak sanggup lagi menghadapiku, apalagi ayah dan ibuku. Memang benar, anak manusia akan hidup seperti binatang, bahkan lebih hina lagi, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sungguh aku tidak banyak mengenal Islam selain hurufnya saja. Meskipun berlimpahkan harta dan jabatan, aku tetap merasa takut pada sesuatu. Aku takut pada sumber gas dan listrik. Aku beranggapan Allah akan membakarku sebagai balasan atas kemaksiatan yang kuperbuat. Aku pernah berkata pada diri sendiri, "Jika nenekku yang sakit saja masih mendirikan shalat, bagaimana aku bisa selamat dari adzab Allah?" Jika begitu, aku segera berlari meninggalkan kecemasan hati dengan tidur atau pergi ke klub malam.

Setelah menikah, bersama sang suami aku pergi ke Eropa untuk menjalani yang jamak disebut orang 'bulan madu'. Salah satu yang menarik perhatianku selama di Eropa; ketika aku pergi ke Vatikan di Roma dan ber­maksud memasuki museum kepausan, mereka memak­saku mengenakan pakaian khusus. Begitulah mereka menghormati agama yang telah direkayasa.

Saat itu aku bertanya-tanya, mengapa kita tidak menghormati agama sendiri? Di tengah gelombang kebahagiaan duniawi yang melimpah, aku berkata pada suamiku, "Aku ingin shalat sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah." Ia bilang, "Lakukan apa yang engkau inginkan, itu kebebasan individu."

Suatu ketika, aku membawa pakaian panjang dan tutup kepala, lalu masuk ke dalam sebuah masjid besar di Paris dan mendirikan shalat. Di depan pintu masjid, aku membuka tutup kepala, melepaskan pakaian panjang, dan ber­maksud menyimpannya di dalam ransel. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadiran seorang gadis Perancis bermata biru, yang tiada akan pernah kulupakan sepanjang hidupku, mengenakan hijab.

Dengan lembut ia me­megang tanganku dan menepuk pundakku. Suaranya yang syahdu terdengar menyapa, "Mengapa engkau melepaskan hijab? Tidak tahukah engkau itu bagian dari perintah Allah?" Aku mendengarkannya kebingungan. Ia memintaku masuk ke dalam masjid untuk beberapa saat.

Aku berusaha melepaskan diri darinya, tetapi sopan santunnya yang teguh dan perkatannya yang lemah lembut memaksaku masuk, seperti kerbau dicocok hidungnya.

Gadis itu bertanya kepadaku, "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Apakah engkau memahami maknanya? Kesaksian itu bukanlah kalimat yang hanya diucapkan oleh lisan, tetapi juga harus dibenarkan dan diamalkan."

Gadis ini telah mengajariku pelajaran paling keras dalam kehidupan. Hatiku terguncang, dan perasaanku takluk pada ucapannya. Setelah itu, ia menyalamiku seraya berkata, "Saudaraku, tolonglah agama ini."

Aku keluar meninggalkan masjid. Pikiranku terus berputar sampai tidak menyadari keadaan di sekitar. Kebetulan pada hari itu juga suami membawaku ke kabaret, tempat kebebasan, di mana laki-laki dan perempuan berdansa dalam keadaan semi telanjang dan melakukan sesuatu seperti dilakukan binatang. Bahkan, mungkin binatang sekalipun enggan melakukan seperti yang mereka lakukan; sedikit demi sedikit satu per satu mereka menanggalkan pakaian. Aku jadi benci pada mereka, bahkan aku membenci diriku sendiri yang telah tenggelam dalam kubangan dosa. Aku minta pada suamiku untuk keluar dari tempat itu, dengan dalih supaya bisa bernapas. Lalu aku langsung pulang ke Kairo.

Di Kairo aku memulai langkah pertamaku berkenalan dengan Islam. Meskipun bergelimang kemewahan duniawi, aku belum mereguk kedamaian dan ketenangan. Namun setiap kali shalat atau membaca Kitabullah, aku serasa semakin dengan dengan semua itu.

Kutanggalkan semua cara kehidupan jahiliahku. Sepanjang siang dan malam aku bertilawah membaca Al-Qur’an. Kubaca buku-buku Ibnu Katsir dan lainnya. Selain itu, aku juga meninggalkan kehidupan klub dan hiburan malam. Aku mulai berkenalan dengan mus­limah. Mula-mula suamiku melarangku berhijab, yang termasuk dalam keputusanku untuk meninggalkan duniaku sebelumnya.

Aku tidak lagi berkumpul bersama laki-laki, baik kerabat maupun bukan, bahkan aku juga tidak ber­salaman dengan mereka. Sungguh cobaan dari Allah! Namun, langkah keimanan yang paling utama adalah berserah diri kepada Allah Subhahanhu wa Ta’ala. Selain itu, menjadikan Allah dan Rasul-Nya paling dicintai daripada yang lain. Akibatnya, timbullah masalah yang membuat aku dan suamiku hampir berpisah.

Alhamdulillah, Islam meniscayakan keberadaannya di tengah rumahku yang kecil. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah pada suamiku. Sekarang ia lebih baik dariku, menjadi dai yang ikhlas berbuat untuk agama. Kendati menderita penyakit dan mengalami beberapa peristiwa getir dalam kehidupan dunia ini, juga cobaan lain, namun kami tetap berbahagia selama semua itu menerpa kehidupan dunia, bukan agama kami.

Sumber : Buku Kisah Orang-Orang Saleh dalam Mendidik Anak, Pustaka al-Kautsar

Tak Ada yang Bisa Menggantikan Dirimu



Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi. Sering aku bertanya, bagaimana keadaan istriku di alam surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih, karena meninggalkan seorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil.

Begitulah yang kurasakan. Karena selama ini, aku merasa telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anakku. Aku juga gagal untuk menjadi ayah dan ibu bagi anakku.

Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, sehingga aku harus segera berangkat ke kantor. Anakku masih tertidur saat itu. "Ohhh, aku harus menyediakan makan untuknya," ucapku. Karena masih ada sisa nasi, maka aku menggoreng telur untuk lauknya. Setelah memberitahu anakku yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja. Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras.

Suatu hari ketika aku pulang kerja, aku merasa sangat lelah. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, kemudian langsung masuk ke kamar tidur. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan di sanalah sumber 'masalah'nya. Sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!

Oh, Tuhan! Aku begitu marah. Aku mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anakku, yang sedang gembira bermain, dengan pukulan-pukulan. Dia hanya menangis, sedikitpun tidak meminta belas kasihan. Dia hanya memberi penjelasan singkat: "Ayah, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Namun ayah belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, Ayah pernah mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk Ayah dan yang satu lagi untukku. Karena aku takut mienya akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai Ayah pulang. Namun aku lupa untuk mengingatkan Ayah, karena aku sedang bermain. Aku minta maaf Ayah."

Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku. Namun aku tidak ingin anakku melihat ayahnya menangis, maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangisku.

Setelah beberapa saat, aku menghampiri anakku, memeluknya dengan erat dan mengobati luka bekas pukulan di pantatnya. Lalu aku membujuknyauntuk tidur.

Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur. Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar anakku. Aku melihat anakku menangis, bukan karena rasa sakit dipantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibu yang dikasihinya.

Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, aku mencoba untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya.

Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.

Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan bahwa anakku absen dari sekolah. Aku pulang ke rumah lebih awal. Setibanya di rumah, aku berharap anakku memberi penjelasan. Namun ia tidak ada di rumah.

Kemudian, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya. Akhirnya, aku menemukannya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain komputer game dengan gembira.

Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, "Aku minta maaf, Ayah."

Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara "pertunjukan bakat" yang diadakan oleh sekolah, karena yang diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan alasan ketidakhadirannya, karena ia tidak punya ibu.

Beberapa hari setelah kuhukum, anakku pulang ke rumah memberitahu bahwa di sekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis. Aku yakin, jika istriku masih ada dan melihatnya, ia akan merasa bangga.

Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Saat itu musim dingin. Ketika aku sedang menyelesaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Mereka menelpon dengan nada marah-marah. Mereka memberitahu bahwa anakku telah mengirim beberapa surat tanpa alamat.

Walaupun saya sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anakku lagi, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya, karena aku merasa bahwa anak ini benar-benar keterlaluan. Namun sekali lagi, seperti sebelumnya, dia meminta maaf: "Maaf, Ayah." Tidak ada tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.

Setelah itu aku pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu pulang. Sesampainya di rumah, dengan marah aku mendorong anakku ke sudut kursi dan menanyakan alasannya melakukan hal itu. Di tengah isak tangisnya anakku menjawab: "Surat-surat itu untuk Ibu."

Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba mengendalikan emosi dan terus menanyainya: "Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak pada waktu yang sama?"

Anakku menjawab: "Aku telah menulis surat buat Ibu dalam waktu yang lama. Namun setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat maemasukkan surat-suratku. Baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus."

Setelah mendengar penjelasannya, aku kehilangan kata-kata. Aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa yang harus aku katakan.

Aku bilang pada anakku, "Nak, Ibu sudah berada di surga. Jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk Ibu, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada Ibu." Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak.

Aku berjanji akan membakar surat-surat itu atas namanya. Jadi aku membawa surat-surat tersebut ke luar. Namun aku jadi penasaran dengan isi surat tersebut. Kemudian, aku membaca surat-surat itu. Salah satu dari isi surat itu membuat hatiku hancur.

Ibuku sayang,

Aku sangat merindukanmu. Hari ini, ada sebuah acara 'Pertunjukan Bakat' di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut. Namun Ibu tidak ada, jadi aku tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu Ayah tentang hal ini, karena aku takut Ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi.

Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencariku. Setelah menemukanku, Ayah marah dan aku hanya bisa diam. Ayah memukulku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya.

Ibu, setiap hari aku melihat Ayah merindukanmu. Setiap kali dia teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Aku pikir kami amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kami, aku rasa. Tapi Bu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah Ibu muncul dalam mimpiku, sehingga aku dapat melihat wajahmu dan mengingatmu? Temanku bilang, "Jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu." Tapi Bu, mengapa engkau tak pernah muncul?


Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti, karena aku tidak pernah bisa menggantikan peran sebagai ibu, semenjak ditinggalkan oleh istriku.

Hargailah keberadaan kekasihmu. Kasihilah dan cintailah dia sepanjang hidupmu dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Karena saat engkau kehilangan dia, tidak ada emas permata, intan berlian atau apa pun yang bisa menggantikan posisinya.

Sumber : http://www.ceritamu.com/cerita/kisah-nyata-tak-ada-yang-bisa-menggantikan-dirimu

Perjalanan Panjang Seorang Wanita Mualaf Rusia



Ia seorang gadis Rusia, berasal dari keluarga yang taat beragama. Ia seorang penganut kristen ortodox yang sangat fanatik.

Seorang pedagang Rusia menawarinya untuk pergi bersama dengan sekelompok gadis, ke negara teluk untuk membeli alat-alat elektronik yang kemudian akan dijual di Rusia. Demikianlah awal kesepakatan antara pedagang dengan gadis-gadis tersebut.

Ketika mereka telah sampai di negara teluk, saudagar itu mulai menampakkan taringnya dan menujukkan niat jahatnya. Ia menawarkan kepada gadis-gadis tersebut profesi tercela. Ia mulai merayu mereka dengan harta yang melimpah dan wawasan yang luas. Akhirnya, sebagian besar dari gadis-gadis itu terpedaya dan menerima idenya, kecuali wanita yang satu ini. Ia sangat fanatik dengan agama Kristennya, sehingga ia menolak.

Laki-laki itu menertawakannya seraya berkata, "Engkau di negeri ini tersia-sia. Engkau tidak memiliki apapun, selain pakaian yang engkau pakai dan aku tidak akan memberikan apapun kepadamu." Saudagar itu mulai menekannya.

Ia tempatkan wanita itu di sebuah flat (kamar) bersama gadis-gadis yang lain. Ia pun menyembunyikan paspor mereka. Gadis-gadis lain tidak mampu mempertahankan prinsipnya, sehingga mereka larut bersama arus. Sementara ia tetap teguh menjaga kesuciannya.

Setiap hari ia selalu mendesak saudagar itu untuk menyerahkan paspornya atau memulangkan dirinya ke negeri asalnya. Namun laki-laki itu menolak. Pada suatu hari, ia berusaha untuk mencari paspor itu di flat. Setelah susah payah mencarinya, akhirnya ia berhasil menemukannya. Langsung saja ia ambil paspor tersebut dan segera kabur dari flat itu.

Ia keluar menuju ke jalan raya, sementara ia tidak punya apa-apa selain pakaian yang dikenakannya. Ia kebingungan. Ia adalah orang asing yang tidak tahu ke mana harus pergi, tak ada keluarga, relasi/kenalan, harta, makanan, dan tak tempat tinggal.

Wanita yang lemah itu benar-benar kebingungan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda yang sedang berjalan bersama tiga orang wanita. Ia merasa tentram dengan penampilan mereka, lalu ia menghampirinya dan mulai berbicara dengan bahasa Rusia.

Pemuda itu minta maaf, karena ia tidak memahami bahasa Rusia. Wanita itu berkata, "Apakah kalian bisa berbicara bahasa Inggris." Mereka menjawab, "Ya, bisa." Wanita itu menangis karena gembira, lalu berkata, "Aku seorang wanita dari Rusia. Kisahku begini (ia menuturkan kisahnya). Aku tidak punya harta dan tempat tinggal. Aku ingin pulang ke negeriku. Aku ingin agar kalian mau menampungku dua atau tiga hari, agar aku dapat mengatur urusanku bersama keluargaku dan saudara-saudaraku di negeriku."

Pemuda yang bernama Khalid itu merenungkan kata-kata wanita itu. Ia berpikir, boleh jadi wanita ini menipu. Sementara wanita itu melihat kepadanya dan menangis. Lalu Khalid bermusyawarah dengan ibu dan kedua saudara perempuannya.

Pada akhirnya mereka sepakat membawa wanita itu ke rumah. Wanita itu mulai menghubungi keluarganya di Rusia. Namun tidak ada jawaban. Jaringan telepon terputus di negeri itu. Padahal, ia sudah mengulang-ngulang menelepon setiap jam.

Keluarga itu tahu bahwa wanita itu seorang Kristen. Mereka berusaha untuk berlemah lembut dan santun kepadanya. Wanita itu menyukai keluarga yang menampungnya. Mereka pun mengajaknya untuk memeluk Islam. Namun ia menolak dan tidak ingin berpindah agama. Bahkan, ia tidak bersedia walau sekadar berdiskusi tentang masalah agama. Karena ia dari keluarga ortodox yang sangat fanatik membenci Islam dan kaum muslimin.

Khalid pergi ke Pusat Islam dan Dakwah (Islamic Center) lalu membawakan untuknya beberapa buku tentang Islam dalam bahasa Rusia. Wanita itu membacanya dengan seksama. Setelah membaca buku-buku tersebut, ia mulai bisa memahami tentang Islam. Pada akhirnya ia terkesan dan kagum dengan agama yang baru ia kenal ini.

Hari-hari terus berlalu sementara mereka terus berusaha untuk meyakinkannya, hingga akhirnya dia masuk Islam. Semakin hari keislamannya semakin baik. Ia mulai menaruh perhatian terhadap ajaran-ajaran Dien dan semangat untuk bergaul dengan wanita-wanita yang salehah. Setelah memeluk Islam, ia takut untuk kembali ke negerinya, karena khawatir akan disuruh kembali ke agama Kristen.

Karena ia telah menjadi muslimah, maka Khalid pun menikahinya. Ternyata ia lebih teguh dalam memegang Dien daripada kebanyakan muslimah lain. Pada suatu hari ia pergi bersama suaminya ke pasar. Di sana ia melihat seorang wanita bercadar. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat seorang wanita berjilbab yang menutupi wajahnya (bercadar). Seorang wanita berjilbab dengan sempurna.

Ia merasa heran dengan bentuk pakaian tersebut. Ia berkata kepada suaminya, "Khalid, kenapa wanita itu berpakaian seperti itu? Mungkin wanita itu tertimpa penyakit yang membuat rusak wajahnya, sehingga ia menutupinya?"

Khalid menjawab, "Tidak, wanita itu berhijab dengan hijab yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya dan yang diperintahkan oleh Rasul-Nya."

Ia terdiam sebentar kemudian berkata, "Ya, benar, ini adalah hijab yang islami, yang dikehendaki oleh Allah untuk kita."

Khalid berkata, "Dari mana engkau tahu?" Ia menjawab, "Aku sekarang merasakan. Jika aku masuk ke pertokoan, mata para pemilik toko itu tidak lepas dari wajahku. Seakan-akan mereka mau menelan wajahku sepotong-sepotong. Kalau begitu wajahku ini harus ditutup. Tidak boleh ada yang melihatnya, selain suamiku saja. Kalau begitu aku tidak akan keluar dari pasar ini, kecuali dengan hijab seperti itu. Di mana kita bisa membelinya?"

Khalid berkata, "Tetaplah terus dengan hijabmu ini, seperti ibu dan saudara-saudara perempuanku."

Ia menjawab, "Tidak, aku ingin hijab seperti yang diinginkan Allah."

Hari-hari terus berlalu sementara tidak ada yang bertambah kecuali keimanannya. Orang-orang yang ada di sekelilingnya menyukainya. Hati dan perasaan Khalid pun terkuasai olehnya.

Pada suatu hari ia melihat paspornya, ternyata hampir habis masa berlakunya dan harus segera diperpanjang. Hal yang paling sulit adalah paspor itu harus diperpanjang di kota tempat dulu ia tinggal. Jadi, ia harus pergi ke Rusia. Jika tidak, maka ia akan dianggap pendatang gelap.

Khalid memutuskan untuk pergi bersamanya, karena wanita itu tidak mau bepergian tanpa disertai mahram. Mereka berdua naik pesawat jawatan penerbangan Rusia (Russian Air Lines) sementara wanita itu tetap dengan hijabnya yang sempurna. Ia duduk di samping suaminya dengan mantap dan penuh kewibawaan. Khalid berkata kepadanya, “Aku khawatir kita menemui kesulitan-kesulitan karena hijabmu ini.” Ia menjawab, “Subhanallah, engkau ingin agar aku mentaati orang-orang kafir tersebut dan mendurhakai Allah? Tidak, demi Allah, terserah mereka mau ngomong apa.”

Orang-orang mulai memandanginya. Para pramugari mulai membagi-bagikan makanan dan khamr (bir) kepada para penumpang. Tak lama kemudian, khamr mulai beraksi di kepala mereka. Kata-kata kasar mulai bermunculan dari orang-orang di sekelilingnya, yang diarahkan kepadanya. Ada yang membuat lelucon (humor), ada yang tertawa, ada juga yang mengolok-olok.

Mereka berdiri di samping wanita itu dan mengomentarinya. Sementara Khalid melihat ke arah mereka tanpa memahami ucapan mereka sedikit pun. Ada pun wanita itu tersenyum dan tertawa, kemudian menerjemahkan omongan mereka kepadanya.

Sang suami marah, tetapi wanita itu berkata, “Jangan, jangan engkau bersedih, jangan merasa sempit dada. Ini perkara kecil dibandingkan ujian dan cobaan iman yang dialami oleh para sahabat Nabi, baik yang laki-laki maupun perempuan.” Wanita itu bersabar, demikian juga sang suami, hingga pesawat itu mendarat.

Khalid berkata, “Ketika kami turun di bandara, aku menyangka bahwa kami akan pergi ke rumah keluarganya dan tinggal di sana. Setelah itu akan menyelesaikan pengurusan perpanjangan paspor kemudian pulang. Namun pandangan istriku ternyata cukup jauh."

Istriku berkata, “Keluargaku masih menganut kristen ortodox semua. Mereka fanatik dengan agamanya. Oleh karena itu, aku tidak ingin ke sana sekarang. Namun kita akan menyewa sebuah kamar di satu tempat dan tinggal di sana lalu mengurus perpanjangan paspor. Nanti sebelum pulang, kita berkunjung ke rumah keluargaku.”

Khalid pun menyetujui usulan yang bagus itu. Kami pun menyewa sebuah kamar dan bermalam di situ. Keesokan harinya kami pergi ke kantor bagian pengurusan paspor. Kami menemui petugas dan ia meminta agar kami menyerahkan paspor yang lama berikut foto terbarunya. Istriku menyerahkan fotonya yang hitam putih, yang tak terlihat dari tubuhnya, kecuali bagian wajahnya saja.

Petugas itu berkata, “Foto ini menyalahi aturan. Kami minta foto yang berwarna dan terlihat wajah, rambut dan leher dengan sempurna!!” Istriku menolak menyerahkan, selain foto itu. Kami pun pergi ke petugas kedua lalu petugas yang lainnya lagi, akan tetapi semua minta foto yang tidak berjilbab.

Istriku berkata, “Tidak mungkin aku berikan kepada mereka foto yang tabarruj (terbuka auratnya) selama-lamanya.”

Para petugas itu pun menolak melayani permintaan kami. Kemudian kami menuju ke pimpinan utama mereka yang perempuan. Istriku berusaha meyakinkan pimpinan itu agar mau menerima foto tersebut. Namun ditolak. Istriku mulai mendesak seraya berkata, “Apakah tidak engkau lihat rupaku yang sebenarnya, lalu engkau bandingkan dengan yang ada di foto itu? Yang penting wajah terlihat. Adapun rambut, bisa saja berubah. Bukankah foto ini sudah cukup?!”

Pimpinan itu tetap bersikeras bahwa aturan tidak membolehkan foto seperti itu. Maka istriku berkata, “Saya tidak akan menyerahkan, selain foto-foto ini. Lalu apa jalan keluarnya?”

Sang pimpinan berkata, “Tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah ini, kecuali direktur utama di kantor pusat pengurusan paspor yang berada di Moskow.”

Kami pun keluar dari kantor tersebut. Ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Khalid, kita akan pergi ke Moskow.”

Ketika itu aku berkata kepadanya, “Sudahlah, serahkan saja foto yang mereka inginkan itu. Bukankah Allah tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kemampuannya? Maka bertakwalah kepada Allah semampumu. Dan ini sesuatu yang darurat. Paspor itu tidak akan dilihat, kecuali oleh segelintir orang. Itu pun untuk sesuatu yang darurat. Setelah itu engkau sembunyikan di rumahmu sampai habis masa berlakunya. Lepaskan dirimu dari kesulitan-kesulitan ini, kita tidak perlu pergi ke Moskow.”

Ia menjawab, “Tidak, tidak mungkin aku tampil dengan bentuk yang tabarruj (membuka aurat) setelah aku mengenal agama Allah ini.”

Ia terus mendesakku, akhirnya kami pun pergi ke Moskow. Kami pun menyewa sebuah kamar dan tinggal di situ. Keesokan harinya kami pergi ke kantor pusat pengurusan paspor. Kami menemui petugas pertama, kedua dan ketiga. Pada akhirnya kami terpaksa menghadap direktur utama.

Kami pun menemuinya. Ternyata ia termasuk orang yang paling buruk akhlaknya. Ketika melihat paspor, ia membolak-balik foto-foto hitam putih itu, kemudian mengarahkan pandangannya ke arah istriku. Ia pun berkata, “Siapa yang bisa membuktikan kepadaku bahwa engkau adalah pemilik foto-foto ini?” Ia ingin agar istriku membuka wajahnya.

Istriku berkata kepadanya, “Katakan saja kepada seorang pegawai wanita yang ada di sini atau sekretaris wanita untuk menemuiku. Aku bersedia membuka wajahku untuknya, sehingga ia dapat mencocokkan foto itu dengan wajahku. Adapun engkau, aku tidak akan membuka wajahku untukmu.”

Orang itu marah lalu mengambil paspor lama dan foto-fotonya berikut berkas-berkas lainnya. Semua berkas itu dijadikan satu dan dilemparkan ke laci meja pribadinya. Ia berkata kepada istriku, “Engkau tidak akan bisa memperoleh paspor yang lama ataupun yang baru, kecuali jika engkau menyerahkan kepadaku foto-foto yang benar-benar cocok dan kami bisa mencocokkannya denganmu.”

Istriku mulai berbicara kepadanya dan berusaha untuk meyakinkannya. Kedua orang itu berbicara dengan bahasa Rusia, sementara aku memandangi keduanya tanpa mengerti sedikit pun pembicaraan mereka.

Aku jengkerl, tetapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Sementara orang itu mengulang-ngulang, “Engkau harus membawa foto-foto yang sesuai dengan syarat-syarat kami.”

Istriku tetap berusaha untuk meyakinkannya, tetapi tidak ada hasilnya! Akhirnya ia diam dan berdiri. Aku menoleh kepadanya dan mengulangi perkataanku sebelumnya, “Wahai istriku yang terhormat, Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Saat ini kita dalam keadaan darurat. Sampai kapan kita berkeliling di kantor-kantor pengurusan paspor?”

Istriku menjawab, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar dan Dia karuniakan kepadanya rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.”

Perdebatan antara aku dengannya semakin sengit. Hal itu membuat direktur pengurusan paspor itu marah, sehingga kami diusir dari kantornya. Kami keluar sambil menyeret langkah-langkah kami.

Perasaanku berkecamuk, antara kasihan dan marah kepada istriku. Kami pun pulang, kemudian membicarakan masalah ini di kamar kami.

Aku berusaha untuk meyakinkannya, akan tetapi ia tetap bersungguh-sungguh meyakinkanku, sampai larut malam. Setelah lelah berdebat, kami pun shalat Isya. Pikiranku risau dengan musibah ini. Kemudian kami makan malam seadanya, lalu aku rebahkan badanku dan kepalaku untuk tidur.

"Bagaimana engkau bisa tidur?" Ketika ia melihatku meletakkan kepalaku, wajahnya berubah lalu menoleh seraya berkata, “Khalid, engkau akan tidur?!” Aku menjawab, “Ya, apakah engkau tidak merasa capek?!” Ia berkata, “Subhanallah, dalam kondisi yang sulit ini engkau bisa tidur?! Kita sedang melewati saat-saat yang kita harus lari kepada Allah. Bangun dan mohonlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, karena ini adalah waktu untuk memohon.”

Aku pun bangun dan shalat, sesuai dengan yang Allah kehendaki untukku. Kemudian aku tidur. Ada pun istriku tetap berdiri untuk shalat dan shalat. Setiap kali aku terbangun dan melihatnya, aku dapati dia masih dalam keadaan rukuk atau sujud atau berdiri atau berdoa atau menangis, sampai terbit fajar. Kemudian ia membangunkanku seraya berkata, “Telah masuk waktu fajar, mari kita shalat berjamaah.”

Aku pun bangun, berwudhu, kemudian shalat berjamaah. Kemudian istriku tidur sejenak. Setelah matahari terbit, ia terbangun seraya berkata, “Mari kita pergi ke kantor pengurusan paspor!!” Aku berkata, “Kita akan pergi ke kantor pengurusan paspor lagi?! Dengan argumen apa?! Mana foto-fotonya, kita masih belum memiliki foto-foto itu!!” Ia berkata, “Marilah kita pergi dan berusaha, jangan putus asa dari rahmat Allah.”

Kami pun pergi. Demi Allah, ketika kaki-kaki kami menginjak lantai ruang pertama kantor pengurusan paspor tersebut dan mereka melihat istriku yang sudah mereka ketahui sebelumnya dengan hijabnya itu, tiba-tiba salah seorang petugas memanggil, ”Engkau Fulanah?”

Istriku menjawab, “Ya, benar!” Petugas itu berkata, “Ambillah paspormu.” Dan ternyata paspor itu telah beres, lengkap dengan foto-fotonya yang berjilbab. Aku merasa gembira, lalu ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar.”

Tatkala kami ingin keluar, petugas itu berkata, “Anda harus kembali ke kota yang kalian datangi pertama kali, agar paspor Anda distempel di sana.” Kami pun kembali ke kota yang pertama dan aku berkata dalam hatiku, "Ini adalah kesempatan untuk mengunjungi keluarganya sebelum kami meninggalkan Rusia. Akhirnya, kami sampai di kota tempat kelahiran istriku. Kami menyewa sebuah kamar kemudian kami menstempel paspor tersebut.

Kami pergi mengunjungi keluarga istriku. Ternyata rumah itu tampak kuno dan sederhana. Nampak jelas tanda-tanda kemiskinan di sana. Kami mengetuk pintu rumah tersebut dan yang membukakan pintu adalah kakak laki-lakinya yang tertua. Ia seorang pemuda yang kekar otot-ototnya.

Istriku gembira dapat bertemu dengan kakaknya, ia membuka wajahnya dan tersenyum serta mengucapkan selamat berjumpa. Ada pun sang kakak, ketika pertama kali melihat adiknya, wajahnya terlihat gembira dengan kepulangannya yang selamat, tapi bercampur heran karena pakaiannya.

Istriku masuk sambil tersenyum dan memeluk saudaranya. Aku pun ikut masuk di belakangnya dan duduk di ruang tamu. Aku duduk seorang diri. Ada pun istriku, masuk ke dalam rumah.

Aku mendengar mereka berbicara dengan bahasa Rusia. Aku tidak paham sama sekali, tetapi aku perhatikan nada suara mereka semakin meninggi dan keras!! Logatnya pun berubah!! Teriakan mulai meninggi!! Tiba-tiba mereka semua meneriaki istriku, sementara ia berusaha membela diri dan menyanggah perkataan mereka. Aku merasa ada hal yang tidak baik dalam urusan ini, tetapi aku tidak bisa memastikannya karena aku tidak paham sedikit pun pembicaraan mereka.

Tiba-tiba suara mereka semakin mendekat ke ruangan tamu, di mana aku berada. Kemudian keluarlah tiga orang pemuda dipimpin oleh seorang yang agak tua menemuiku. Pada mulanya aku menduga bahwa mereka akan menyambut kedatangan suami dari anak mereka. Namun ternyata mereka menyerangku seperti binatang buas. Tiba-tiba mereka memukul dan menamparku. Aku berusaha untuk membela diri dari serangan mereka. Aku berteriak dan minta tolong, hingga habis kekuatanku. Aku merasa di rumah inilah akhir hidupku.

Mereka semakin menghujaniku dengan pukulan-pukulan. Sementara itu aku berusaha menoleh ke sekitarku. Aku berusaha mengingat-ingat dari pintu mana aku tadi masuk supaya aku bisa keluar. Ketika aku melihat pintu, aku segera bangkit membuka pintu dan kabur. Sementara mereka mengejar di belakangku. Aku masuk di tengah kerumunan orang, hingga dapat lolos dari kejaran mereka.

Kemudian aku menuju ke kamar sewaku, yang kebetulan tidak jauh dari rumah itu. Aku membersihkan darah dari wajah dan mulutku. Aku melihat diriku di cermin, ternyata pukulan dan tamparan-tamparan itu meninggalkan bekas pada kening, pipi dan hidungku. Darah mengalir dari mulutku, pakaianku robek. Aku memuji Allah, yang telah menyelamatkanku dari binatang-binatang buas tersebut. Namun aku tersadar dan berkata dalam hati, “Aku telah selamat, tetapi bagaimana dengan istriku?!” Wajahnya terbayang-bayang di hadapanku. Apakah ia juga menerima pukulan dan tamparan sepertiku? Laki-laki saja hampir-hampir tak sanggup menghadapinya. Sementara ia adalah seorang wanita, apakah ia mampu menanggungnya?! Aku khawatir wanita yang lemah itu roboh. Inikah saatnya perpisahan??

Setan mulai bekerja dan membisiki, “Ia akan murtad dari agamanya dan kembali menjadi Kristen, lalu engkau akan kembali ke negerimu seorang diri.” Aku jadi bingung, apa yang harus aku perbuat? Di negeri ini, ke mana aku harus pergi, apa yang mesti aku lakukan? Nyawa di negeri ini murah. Engkau bisa menyewa seseorang untuk membunuh orang lain, hanya dengan sepuluh dollar!! Uuuh, bagaimana kalau keluarga istriku menyiksanya lalu ia menunjukkan kepada mereka tempatku, kemudian mereka mengutus seseorang untuk membunuhku di kegelapan malam?

Aku mengunci kamar rapat-rapat. Namun aku masih merasa takut dan cemas sampai pagi. Ketika matahari telah terbit, aku pun berganti pakaian lalu pergi untuk mencari-cari informasi. Aku mengawasi rumah mereka dari kejauhan, dan memantau apa yang terjadi. Namun pintu rumah itu tertutup. Aku terus menunggu. Tiba-tiba pintu terbuka dan keluarlah tiga orang pemuda dan seorang tua. Ketiga pemuda itulah yang telah memukulku. Dari penampilannya, nampaknya mereka akan pergi bekerja. Pintu pun tertutup dan terkunci kembali. Aku tetap mengawasi dan mengintai. Aku berharap dapat melihat wajah istriku, tetapi tak berhasil.

Aku terus mengawasi rumah itu sampai berjam-jam. Hingga para laki-laki yang pergi itu kembali dari pekerjaan mereka dan memasuki rumah mereka. Aku merasa lelah, lalu kembali ke kamar sewaku.

Pada hari kedua, aku pergi mengawasi rumah itu lagi. Namun aku tidak melihat istriku. Pada hari ketiga pun sama. Aku sudah putus asa akan kehidupannya, aku menduga ia sudah mati karena kerasnya siksaan atau dibunuh. Namun seandainya ia telah mati tentu paling tidak akan terlihat kesibukan di rumah itu. Akan ada orang yang datang untuk melayat atau menjenguk. Akhirnya, aku meyakinkan diriku bahwa ia masih hidup dan kesempatan bertemu kembali masih ada.

Pada hari yang keempat, aku tidak sabar untuk duduk di kamar sewaku. Aku pun pergi untuk mengawasi rumah mereka dari kejauhan. Ketika para pemuda itu pergi bersama ayah mereka ke tempat kerjanya seperti biasa, sementara aku tetap mengawasi dan berharap, tiba-tiba pintu terbuka.

Ternyata wajah istriku terlihat dari balik pintu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku melihat ke wajahnya, ternyata penuh dengan lingkaran-lingkaran merah dan bekas-bekas pukulan yang membiru, karena banyaknya pukulan dan tamparan. Pakaiannya bersimbah darah. Aku merasa cemas dan iba, ketika melihatnya. Aku segera menghampirinya. Ketika semakin dekat, aku dapat melihatnya dengan jelas. Ternyata darah mengalir dari luka-luka di wajahnya. Kedua tangan dan kakinya pun mengalirkan darah. Pakaiannya robek-robek, tidak tersisa kecuali secarik kain sederhana yang menutupinya. Kedua kakinya terikat dengan belenggu, sedangkan kedua tangannya pun diikat ke belakang dengan rantai.

Tatkala aku melihatnya seperti itu aku menangis. Aku tidak dapat menguasai diriku, aku panggil ia dari kejauhan. Ketika melihatku. istriku tersenyum. Ia berkata kepadaku sambil menahan air mata dan merintih karena pedihnya siksaan, “Dengarkan wahai Khalid, jangan engkau mencemaskan diriku, aku tetap teguh di atas perjanjian. Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, apa yang aku temui sekarang ini tidak sebanding seujung rambut pun dengan apa yang ditemui oleh para sahabat dan tabi’in, apalagi para Nabi dan Rasul. Aku mengharap agar engkau tidak ikut campur dalam urusan antara aku dan keluargaku. Pergilah cepat-cepat, serta tunggulah di kamar sewa sampai aku datang, insya Allah. Perbanyaklah doa, qiyamullail dan shalat.”

Aku pun pergi dari sisinya, sementara aku merasa sangat iba dan sedih atas dirinya. Aku tinggal di kamarku sehari penuh menunggunya, aku mengharapkan kedatangannya. Hari berikutnya pun lewat. Sampai malam telah larut, tiba-tiba pintu kamarku diketuk! Aku terkejut. Siapakah gerangan yang di balik pintu?! Siapa yang mengetuk itu? Rasa takut, mulai muncul, siapalah yang datang pada tengah malam? Boleh jadi keluarganya telah mengetahui tempatku, atau boleh jadi istriku telah mengaku lalu keluarganya datang untuk membunuhku. Aku diserang ketakutan seperti mau mati. Aku bertanya dengan mengulang-ulang, “Siapa di luar?”

Tiba-tiba terdengar suara istriku berkata dengan penuh kelembutan, “Bukalah pintu, aku Fulanah.” Kemudian aku nyalakan lampu kamar dan aku buka pintu. Ia masuk dalam keadaan gemetar dan kondisi yang mengenaskan, sementara luka-luka disekujur tubuhnya. Ia berkata, “Cepat kita pergi sekarang!” Aku berkata, “Sementara keadaanmu seperti ini?!” Ia menjawab, “Ya, cepatlah.”

Aku mulai membereskan pakaianku sementara ia mengambil kopernya. Ia mengganti pakaiannya dan mengeluarkan hijab dan ‘aba’ah (mantel luar) nya lalu dipakainya. Kami segera mengambil semua barang-barang kami lalu turun dan naik taksi. Wanita yang lemah itu menghempaskan tubuhnya yang lapar dan penuh luka itu ke kursi mobil.

Begitu aku naik taksi, aku langsung berkata kepada sopir dengan bahasa Rusia, “Ke bandara pak!” Aku memang sudah mengetahui beberapa kata dalam bahasa Rusia. Namun istriku berkata, “Tidak, kita tidak akan pergi ke bandara, tetapi kita akan pergi ke suatu desa.” Aku bertanya, “Kenapa? Bukankah kita akan kabur?!” Ia menjawab, “Benar, tetapi jika keluargaku tahu akan kepergianku, mereka pasti akan segera mencari kita di bandara. Kita pergi saja ke suatu desa. Jika kita telah sampai di desa tersebut kita akan turun, lalu naik mobil lain ke desa yang lainnya. Kemudian menuju ke desa lainnya. Kemudian ke sebuah kota lain, yang di situ ada bandara internasional.”

Ketika kami telah sampai di bandara internasional, kami segera memesan tiket untuk pulang ke negeri kam. Namun pemesanan terlambat, lalu kami menyewa sebuah kamar dan tinggal di situ.

Tatkala kami sudah merasa tenang tinggal di kamar, istriku melepas aba’ah (mantel luar) nya. Aku melihatnya. Ya Allah, ternyata tidak ada satu tempat pun yang selamat dari darah!! Kulitnya tercabik, darah-darah yang membeku, rambut yang terpotong-potong, dan bibir yang membiru.

Aku bertanya kepadanya, “Apa yang telah terjadi?.” Ia menjawab, “Ketika kita telah masuk ke rumah, aku duduk bersama keluargaku, lalu mereka berkata kepadaku, ‘Pakaian apa ini?!! Aku menjawab, ‘Ini adalah pakaian Islam.’ Mereka berkata, ‘Dan siapakah laki-laki itu?!’ Aku menjawab, ‘Dia suamiku, aku telah masuk Islam dan menikah dengan laki-laki tersebut.’ Mereka berkata, ‘Tidak mungkin ini terjadi!’ Kemudian aku berkata, 'Dengarkanlah dulu ceritaku.'"

Lalu aku ceritakan kepada mereka kisah laki-laki Rusia yang ingin menarikku ke lembah prostitusi, bagaimana aku bisa lari darinya, kemudian pertemuanku denganmu. Mereka berkata, “Seandainya engkau menempuh jalan prostitusi tentu lebih kami sukai daripada engkau datang kepada kami sebagai muslimah.” Mereka juga berkata kepadaku, “Sekali-kali engkau tidak akan bisa keluar dari rumah ini, kecuali sebagai wanita Kristen orthodox atau mayat yang kaku!!”

Sejak saat itu mereka menyiksa dan memukuliku, kemudian mereka menuju kepadamu dan memukulimu. Aku mendengar mereka memukulimu dan engkau berteriak minta tolong, sedangkan aku saat itu dalam keadaan terikat. Ketika engkau melarikan diri, saudara-saudaraku kembali kepadaku dan menumpahkan cacian serta cercaannya kepadaku. Kemudian mereka pergi dan membeli rantai belenggu, lalu mereka mengikatku.

Mereka mulai mencambukku. Aku merasakan cambukan yang meninggalkan bekas. Mereka mencambukku dengan cambuk-cambuk yang aneh dan asing!! Setiap hari pemukulan dimulai ba’da Ashar sampai tiba waktu tidur. Ada pun di pagi hari, ayah dan saudara-saudaraku pergi ke tempat kerja, sedangkan ibuku di rumah. Nah, inilah waktu istirahatku satu-satunya.

Tidak ada di sampingku selain adik perempuan yang umurnya 15 tahun. Ia mendatangiku dan menertawakan keadaanku. Percayakah engkau bahwa hingga tidur pun aku dalam keadaan pingsan? Mereka mencambukku sampai aku pingsan dan tertidur. Mereka menuntut dariku agar murtad, tetapi aku menolaknya dan berusaha keras untuk bersabar.

Setelah itu adik perempuanku mulai bertanya kepadaku, “Kenapa engkau tinggalkan agamamu dan agama ibu, ayah serta kakek-kakekmu?” Aku berusaha untuk meyakinkannya. Aku menjelaskan kepadanya tentang ajaran Dien. Aku terangkan tentang tauhid. Ia pun merasa puas dan terkesan. Gambaran tentang Islam mulai jelas di hadapannya.

Tiba-tiba aku dikejutkan olehnya, ketika ia berkata, “Engkau di atas kebenaran. Inilah agama yang benar, inilah agama yang seharusnya aku anut juga!!” Kemudian ia berkata kepadaku, “Aku akan membantumu.” Aku menjawab, “Jika engkau memang ingin membantuku, maka bantulah aku untuk menemui suamiku.”

Adik perempuanku mulai melihat dari atas rumah, lalu ia melihatmu sedang berjalan. Ia segera berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku melihat seorang laki-laki yang begini dan begitu cirinya.” Aku berkata, “Dialah suamiku, jika engkau melihatnya maka bukakanlah pintu untukku agar aku bisa berbicara kepadanya.”

Dan benar, ia pun membukakan pintu lalu aku keluar dan berbicara kepadamu. Namun aku tidak bisa keluar menghampirimu, karena aku dalam keadaan terikat dengan dua rantai belenggu, yang kuncinya dipegang oleh saudaraku. Sedangkan rantai yang ketiga diikatkan ke salah satu tiang rumah agar aku tidak bisa keluar. Kuncinya dipegang oleh adik perempuanku dan akan dibukanya bila aku hendak ke kamar mandi.

Ketika aku berbicara kepadamu waktu itu dan memintamu agar tetap tinggal sampai aku datang, keadaanku masih terikat dengan rantai belenggu. Lalu aku mulai meyakinkan adik perempuanku tentang Islam, maka ia pun masuk Islam dan ingin berkorban dengan pengorbanan yang lebih besar dari pengorbananku. Ia pun memutuskan untuk melepaskanku. Namun kunci-kunci rantai belenggu dipegang oleh saudaraku dan ia sangat menjaganya.

Lalu adik perempuanku menyiapkan alkohol yang kental dan berat untuk saudara-saudaraku. Lalu mereka pun meminumnya sampai mabuk berat dan tidak sadar sama sekali. Kemudian adikku mengambil kunci tersebut dari kantong saudaraku dan membuka rantai-rantai belenggu itu dariku. Lalu aku datang menemuimu pada kegelapan malam itu.

Aku bertanya kepada istriku, “Bagaimana adik perempuanmu? Apa yang akan terjadi dengannya?” Ia menjawab, “Tidak masalah, aku sudah meminta kepadanya agar merahasiakan ke-Islamannya sampai kita bisa memikirkan urusannya.”

Kami pun bisa tidur malam itu, dan keesokan harinya kami pulang ke negeri kami. Begitu kami sampai di negeri kami, aku langsung masukkan istriku ke rumah sakit. Ia tinggal di situ beberapa hari menjalani pengobatan karena bekas cambukan-cambukan dan penyiksaan. Sekarang ini kami berdoa untuk adik perempuannya agar Allah SWT meneguhkan hatinya di atas Dien-Nya.

Sumber : http://www.arrahmah.com/read/2012/04/05/192220amazing-story-perjalanan-panjang-seorang-wanita-mualaf-rusia.html