• home
Home » » Perjalanan Berharga

Perjalanan Berharga



Aku, seorang muslimah periang (setidaknya, begitulah yang tampak dari luar), berusia 22 tahun. Hidupku penuh dengan kesedihan. Sejak kecil sampai tumbuh besar jarang kukecap bahagia. Namun kukelabui dunia dengan sosokku yang ceria dan penuh canda. Seringkali teman-temanku bertanya, "Ya ukhty, bagaimana caranya supaya tidak pernah sedih seperti anti?" Hanya senyum yang bisa kuberi untuk menjawab pertanyaan, yang sesungguhnya pun ingin kutanyakan pada mereka yang hidupnya bahagia tanpa cela.

Namun sudahlah, takkan kuceritakan kisah sedih masa kecilku. Aku hanya akan mengisahkan pencarianku akan kebahagiaan.

Dua tahun lalu, tepatnya saat usiaku 20 tahun, aku mulai berpikir untuk melepas kesendirian. Niatku pun kusampaikan pada seorang muslimah senior, yang memang sudah beberapa kali menawariku untuk "ta'aruf" dengan beberapa ikhwan. Namun saat itu, semuanya kutolak karena berbagai alasan.

Sampai aku mengenalnya, lewat sebuah situs pertemanan. Dia, Ubaid (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Timur Tengah. Sosoknya begitu dewasa, santun, lagi berilmu. Segala yang kucari ada padanya. Sayangnya, dia sudah beristri dan memiliki seorang anak. Kutepis hasratku untuk mengenalnya lebih jauh.

Hari demi hari, entah kenapa aku semakin kagum padanya. Walau belum pernah bertatap muka, tapi diskusi kami lewat "chat", kedalaman ilmunya, keindahan susunan kata-katanya, sungguh meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatiku. Aku mulai jatuh hati padanya. Ubaid, pria beristri itu!

Ternyata rasaku tak bertepuk sebelah tangan. Hari selanjutnya ia menelponku dan ia menanyakan pandanganku tentang poligami. Aku menjawab bahwa poligami adalah sunah. Sunah yang dibenci kebanyakan orang. Oleh sebab itu, aku kagum pada mereka yang bisa menjalankannya. Pada muslimah tangguh yang mampu mengalahkan egoisme dan "hati"nya untuk berbagi orang yang dicintainya. Bukankah tak akan sempurna iman seseorang sampai ia mampu memberikan pada saudaranya apa yang dia inginkan untuk dirinya sendiri? Blah blah blah, panjang lebar penjelasanku saat itu.

Ubaid mendengarkan, lalu berkata: "Seandainya semua istri berpikiran seperti anti. Maukah anti menjadi permaisuri kedua di istanaku?"

Semburat jingga langit sore itu menjadi saksi kebahagiaanku mendengar permintaannya. Namun syukurlah logikaku masih berjalan. Kukatakan padanya "Bagaimana mungkin antum meminta ana menjadi istri antum, sedangkan bagaimana rupa ana pun antum belum tahu? Juga bagaimana nanti respon keluarga ana dan keluarga antum, mungkinkah mereka akan menerima?" Dia hanya diam.

Lalu aku kembali bertanya: "Apakah istri antum mengetahui, antum ingin berta’addud?" Dia menjawab, "Tidak, tapi pemahamannya sudah baik, insya Allah istri ana akan menerima." Aku tersenyum mendengarnya. Lalu kami pun menyudahi percakapan sore itu.

"Lebih baik kamu ga usah nikah selamanya daripada jadi istri kedua!" Teriak ibuku, saat kutanyakan pendapatnya tentang poligami. Padahal aku belum menanyakan bagaimana pendapatnya, jika akulah perempuan yang dipoligami itu.

Kuutarakan keberatan ibuku kepada Ubaid. Ibuku memang sering melihat contoh poligami orang-orang tidak berilmu yang hanya mengedepankan nafsu. Itu sebabnya beliau sangat menentang. Walau berpuluh kali kukatakan pada ibuku bahwa poligami yang didasari ilmu dan ketakwaan pada Allah tentu akan berbeda cerita.

Ubaid memintaku untuk terus menyakinkan ibuku sampai beliau mau menerima syariat ta’addud. Dia pun berjanji akan melakukan hal yang sama pada istrinya. Meyakinkannya untuk rela berbagi denganku.

Pelan namun pasti, ibuku akhirnya luluh. Beliau tidak lagi mencaci pelaku poligami. Apalagi setelah kuterangkan tentang hukum menolak syari’at atau mengingkari ayat Al-Qur'an. Begitulah ibuku, menentang di awal, kemudian luluh setelah hujjah di tegakkan. Alhamdulillah, Semoga beliau selalu dalam lindungan dan rahmat-Nya.

Kusampaikan kabar gembira itu pada ubaid lewat sebuah pesan singkat. Ia pun membalasnya: "Alhamdulillah, insya Allah liburan musim panas ini, ana akan menikahi anti." Senang hatiku tak terkira.

Empat bulan masa penantian terasa begitu lamaaaa. Tertatih menjaga hati. Karena memang cara ta’aruf kami tidak sepenuhnya benar. Kami sering berkomunikasi lewat chat, telepon, dan sms. Astaghfirullah.

Hari yang dinanti pun tiba. Ubaid datang ke Indonesia. Sendiri, tidak dengan anak istrinya. Pertemuan pertama, semua masih terasa sempurna. Begitu pun saat dia meminangku pada kedua orang tuaku. Sosoknya yang "charming" membuat orang tuaku seolah lupa dengan statusnya yang sudah menikah dan memiliki seorang anak. Hingga di akhir pertemuan itu seorang kerabat mengingatkan bagaimana dengan istri Ubaid. Karena Ubaid meyakinkan bahwa pernikahan kami atas izin dan restu istri pertamanya, orang tuaku akhirnya menyerahkan segala keputusan kepadaku. Tentu saja aku menerimanya. Dengan hati berbunga!

Ikhwan nan lucu, cerdas, berilmu dan tampan itu, akan menjadi suamiku. Gadis mana yang tak bahagia dipinang pria sepertinya?

Setelah tanggal disepakati, Ubaid pamit untuk pulang ke kampung halamannya dan menjemput orang tuanya. Dia akan kembali lagi bulan depan, karena banyak jadwal mengisi kajian di kampung halamannya selama liburan musim panas.

Pada tanggal yang disepakati, Ubaid datang ke rumah. Namun tidak dengan orang tuanya. Orang tuanya ternyata tidak merestui rencana pernikahan kami. Orang tuaku pun tidak akan merestui, jika pernikahan ini tidak mendapat restu dari keluarga Ubaid. Buyar sudah rencana kami untuk menikah.

Ubaid tidak juga mendapat restu orang tuanya sampai masa liburannya berakhir. Dia pun kembali ke Timur Tengah untuk melanjutkan studi, dan tentu saja untuk kembali pada istri dan anaknya. Cemburukah aku? Ah, aku bahkan tak berhak sedikitpun untuk cemburu!

Aku hanya bisa menangis dan menangis. Ingin melupakannya saja, tapi rasa untuknya sudah terhujam sedemikian dalam. Astaghfirullah. Ampuni aku, ya Allaah.

Ubaid memintaku untuk menunggu. Dia berjanji akan menikahiku musim panas tahun depan. Aku yang dungu pun menunggu. Setahun berlalu. Selama itu, beberapa proposal taaruf sudah kutolak dengan alasan "sudah ada calon". Intensitas komunikasiku dengan Ubaid sudah jauh berkurang. Selain karena kesibukannya menghadapi ujian, juga demi menjaga hubungan kami agar tidak melewati batas.

Hingga tiba masa yang kunantikan. Liburan musim panas tahun berikutnya. Ubaid pulang ke Indonesia dengan istri dan dua anaknya. Ya, dua anaknya. Ternyata istrinya baru saja melahirkan anak kedua mereka.

Kunantikan janjinya. Pekan pertama, kedua, dan ketiga. Kapankah Ubaid datang dan menikahiku? Namun sedikit pun tak ada kabar darinya. Lalu aku menelepon temanku, yang juga tetangganya.

Temanku mengabarkan bahwa Ubaid sedang menjaga istrinya di Rumah Sakit. Ternyata pekan lalu, istrinya mencoba bunuh diri dan mengancam akan membunuh bayinya setelah mengetahui rencana pernikahan kami. Allahul musta’an.

Saat itu juga kumantapkan niatku untuk mengakhiri semuanya. Walau sedikit terlambat, akhirnya aku tahu. Ternyata Ubaid tidak pernah menyatakan niatnya menikahiku kepada istrinya. Dia berencana melakukannya secara diam-diam. Dia juga tidak pernah memberitahuku bahwa istrinya mengidap depresi berat.

Singkat kata, aku menyiakan 1,5 tahun usiaku untuk menunggu seseorang yang tak layak kutunggu. Astagfirullah.

Sumber : http://gugundesign.wordpress.com/2011/01/20/izinkan-aku-jadi-bagian-cinta-suamimu-kisah-nyata-poligami-2/
Silahkan Bagikan jika bermanfaat...

0 comments:

Post a Comment