• home
Home » » Aku Menangis untuk Adikku

Aku Menangis untuk Adikku



Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.

Aku mempunyai seorang adik laki-laki, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan seperti yang dimiliki oleh semua gadis seusiaku, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau menyuruhku dan adikku untuk berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marah, sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Sekarang, kamu sudah belajar mencuri dari rumah, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku merengkuh adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku kesalahanku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin terjadi. Aku tidak akan pernah lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya mengeluh, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik."

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, saya telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu lemah? Bahkan, jika ayah harus mengemis di jalanan, ayah akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Kemudian, beliau pergi mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak. Aku berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Jika tidak, ia tidak akan pernah bisa meninggalkan jurang kemiskinan." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku,"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku dan menangis dengan tersedu-sedu hingga suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun dan aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas.

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan mengatakan, "Ada seorang pemuda dusun menunggumu di luar!" Mengapa ada seorang pemuda dusun mencariku? Aku berjalan keluar dengan rasa heran. Ketika sampai di luar, aku melihat adikku, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.

Aku bertanya, "Mengapa kamu tidak bilang pada temanku kalau kamu adalah adikku?" Dia menjawab sambiltersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikirkan jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa sedih dan air mata memenuhi mataku. Sambil menyapu debu-debu dari tubuh dan wajah adikku, aku berkata, "Aku tidak perduli ucapan siapa pun! Kamu adalah adikku, bagaimana pun penampilanmu."

Kemudian dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia menyematkannya di rambutku dan berkata, "Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi aku pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku, aku menangis dan terus menangis. Tahun itu, ia berusia 20 dan aku 23 tahun.

Kali pertama aku pulang ke rumah setelah menghadiri undangan pernikahan seorang teman, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. "Bu, Ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi ibu berkata sambil tersenyum, "Adikmu yang pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam kamar kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan membalut lukanya. "Sakit?" aku bertanya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan, hal itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku berusia 23 tahun dan aku 26 tahun.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Seringkali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, dan mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Saat suamiku menjadi direktur di pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, ketika adikku sedang memperbaiki sebuah kabel, ia tersengat aliran listrik. Dia yang berada di atas tangga langsung terjatuh dan dibawa ke rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kata-kata kami?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku tiba-tiba menjadi manajer, apa kata orang-orang?" Mata suamiku dipenuhi air mata. Kemudian keluar kata-kata dari bibirku terbata-bata, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" Lalu ia berkata, "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29 tahun.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, MC pada pernikahan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"

Tanpa berpikir panjang, ia menjawab, "Kakak saya." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya SD, sekolah kami ada di dusun yang berbeda. Setiap hari, kakak dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, sarung tangan saya hilang sebelah. Kakak memberikan satu dari miliknya dan ia memakai sebelahnya saja sambil berjalan ke rumah. Ketika kami tiba di rumah, tangannya gemetaran karena cuaca yang begitu dingin hingga ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah terucap dari bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling ingin kuberikan ucapan terima kasih adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia itu, di depan tamu-tamu undangan, air mata bercucuran deras di wajahku.

Sumber : http://blog.malau.net/2007/10/22/aku-menangis-untuk-adikku-6-kali/
Silahkan Bagikan jika bermanfaat...

0 comments:

Post a Comment