Aku adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana. Sejak kecil aku sering dimarahi oleh ayah. Di mata ayah, tak satu pun yang dikerjakan olehku betul. Setiap hari aku berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan ayahnya, namun tetap saja hanya ketidakpuasan ayah yang kudapatkan.
Pada waktu aku berumur 17 tahun, tak sepatah ucapan selamat pun yang keluar dari mulut ayah. Hal itu membuatku semakin membencinya. Gambaran ayah yang melekat dalam diriku adalah seorang yang pemarah dan tidak perhatian. Akhirnya, aku memberontak dan sejak saat itu, setiap hari kulalui dengan pertengkaran dengan ayahnya.
Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah meninggal dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah dia ceritakan kepada siapa pun kecuali pada ibuku. Walaupun merasa sedih dan kehilangan, namun di dalam diriku masih tersimpan rasa benci kepada ayahnya.
Suatu hari ketika membantu ibu mengemas barang peninggalan almarhum, aku menemukan sebuah bungkusan yang dibungkus dengan rapi dan di atasnya tertulis "Untuk Anakku Tersayang".
Dengan hati-hati kuambil bungkusan tersebut dan mulai kubuka. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku yang telah lama aku idam-idamkan. Di samping kedua benda itu, terdapat sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna kesukaanku.
Perlahan kubuka kado tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada di dalamnya, yang aku kenali pasti sebagai tulisan tangan ayah.
"Ya Allah, terima kasih karena Engkau mempercayai diriku yang rendah ini untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku. Kumohon padaMu, Ya Allah, jadikan buah kasih hambaMu ini orang yang berarti bagi sesamanya dan bagiMu. Jangan Kau berikan jalan yang lurus dan luas membentang. Berikanlah jalan yang penuh liku dan duri agar ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya. Sekali lagi kumohon, Ya Allah, sertailah anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh. Jadikan ia sesuai dengan kehendakMu. Selamat ulang tahun anakku, doa ayah selalu menyertaimu."
Meledaklah tangisanku selesai membaca tulisan dalam kartu tersebut. Ibu menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Dalam pelukan ibunya, aku menceritakan tentang bungkusan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ucapan ulang tahunku. Ibu akhirnya menceritakan bahwa ayah memang sengaja merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan tegas agar si anak menjadi wanita yang kuat, tegar, dan tidak terlalu kehilangan ayahnya ketika ajal menjemput.
Aku menyesal, selalu melihat ayah dengan hanya melihat apa yang tampak oleh kedua mataku tidak sepenuhnya benar. "Selamat jalan ayah, doaku selalu untukmu."
Kasih seorang ayah, seorang ibu, saudara-saudara, orang-orang di sekitar kita, dan terutama kasih Allah dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara. Sekarang hanya tinggal bagaimana kita menerima, menyerap, mengartikan dan membalas kasih sayang itu.
Sumber : http://jalanhidup.com/motivasi/kasih-seorang-ayah.html


0 comments:
Post a Comment