Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya, saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Namun yang aku rasakan justru rasa haru biru. Betapa tidak? Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang paling keras menentang pernikahanku.
Masih terngiang di telingaku perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama buntelan karung hitam itu?!?" Duh, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa, calon istriku disebut buntelan karung hitam.
"Kamu sudah kena pelet barangkali. Masa suka sih, sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya? Lebih tua beberapa tahun dibanding kamu lagi!!" sambung ibu.
"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah. Bagaimana jika Pencipta-nya marah pada ibu?" Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi.
Ucapanku membuat ibu tersinggung. "Oh, rupanya kamu lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu, baiklah. Silahkan kau menikah, tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini!!"
"Jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran temanku membuyarkan lamunanku. Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
"Alhamdulillah, penghulu sudah tiba. Bersiaplah, akhi." Sekali lagi temanku menyemangatiku.
"Saya terima nikahnya, kawinnya Salehah binti Mahmud almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat tunai!" Alhamdulillah, lancar juga aku mengucapkan akad nikah.
“Ya Allah, hari ini telah Engkau ijinkan aku untuk meraih setengah Dien. Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."
Di kamar yang amat sederhana, di atas dipan kayu ini aku tertegun lama, memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam diam. Setelah sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya. "Assalamualaikum, permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan, Dik?" tanyaku sambil memandang wajahnya, yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya.
Sebelum menikah, istriku memang pernah memintaku untuk membacakan hafalan Al-Qur'an satu juz, dari malam pertama hingga kesepuluh. Dan permintaan itu telah kusetujui.
“Nanti saja dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu, ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu, wajah istriku tidak menarik. Sekelebat pikiran itu muncul dan segera aku mengusirnya. Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
"Bang, sudah saya katakan sejak awal taaruf, bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam Malik, yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.
Saya ingin mengingatkan Abang padad firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka, yang artinya: "Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ma'ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak." (an-Nisa:19)
Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itu, lahir Imam Malik, ulama besar umat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.
"Ya Rabbi, aku menikahinya karena-Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih sayang milik-Mu pada hatiku untuknya, agar aku dapat mencintai dan menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih menyisakan segumpal ragu. "Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh, saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.
"Tidak, Dik! Sungguh, sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan, ketika seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil menggenggam erat tangannya.
Malam pelan-pelan naik ke puncaknya. Dalam lengangnya bait-bait doa kubentangkan pada-Nya. "Rabbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta untuk laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik, karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Rabbi, saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karena itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam surga-Mu!"
Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. "Ah, sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita salehah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan Kitab-Nya. Dan senantiasa melaksanakan puasa sunnah Rasul-Nya."
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=127786953963448


0 comments:
Post a Comment