• home
Home » » Cinta Ayah dan Botol Acar

Cinta Ayah dan Botol Acar

Kisah Inspiratif Dunia

Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orang tuaku. Sebelum tidur, ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemerincingnya nyaring, jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya, kemudian membawanya ke bank. Membawa keping-keping koin itu ke bank selalu menjadi peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan ayah di truk tuanya. Setiap kali kami pergi ke bank, ayah memandangku dengan penuh harap. "Karena koin-koin ini, kau tidak perlu kerja di pabrik tekstil. Nasibmu akan lebih baik daripada nasibku. Kota tua dan pabrik tekstil di sini takan bisa menahanmu."

Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir bank, ayah selalu tersenyum dengan bangga. "Ini uang kuliah putraku. Dia takkan bekerja di pabrik tekstil seumur hidup seperti aku."

Pulang dari bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim coklat, sedangkan ayah selalu memilih rasa vanilla. Setelah menerima kembalian dari penjual eskrim, ayah selalu menunjukan beberapa keping koin kembaliannya kepadaku. "Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi."

Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh gemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. "Kau akan bisa sekolah berkat koin itu," katanya. "Kau pasti bisa kuliah, ayah jamin."

Tahun demi tahun berlalu. Akhirnya aku memang berhasil kuliah, lulus dari universitas, dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orang tuaku, aku menelepon dari telepon di kamar tidur mereka. Tak kutemukan lagi botol acara itu. Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah dipindahkan ketempat lain, entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika memandang lantai di samping lemari tempat botol acar itu biasa diletakkan.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara. Dia tidak pernah menceramahiku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.

Setelah menikah, kuceritakan kepada Susan, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampak sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam ayah selalu mengisi botol acar itu dengan uang koin.

Bahkan di musim panas ketika ayah diberhentikan dari pabrik tekstil dan ibu terpaksa hanya menyajikan buncis kalengan selama berminggu-minggu, satu kepingpun tak pernah diambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan menyiram buncis dengan saus agar lebih enak, ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku. "Kalau kau sudah tamat kuliah," katanya dengan mata berkaca-kaca, "Kau tak perlu makan buncis, kecuali jika kau memang mau."

Setelah putri pertama kami, Jessica, lahir, kami menghabiskan waktu di rumah orang tuaku. Setelah makan malam, ayah dan ibu duduk berdampingan di sofa,bergantian memandang cucu pertama mereka. Jessica menangis lirih. Kemudian Susan mengambilnya dari pelukan ayah. "Mungkin popoknya basah," kata Susan. Lalu dibawanya Jessica ke kamar tidur orang tuaku untuk diganti popoknya.

Susan kembali ke ruang keluarga dengan mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Jessica ke pangkuan ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar. "Lihat," katanya lembut. Matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkerjut.

Di lantai, seakan tidak pernah disingkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin. Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu kedalam botol.

Aku mengangkat kepala melihat ayah. Dia menggendong Jessica dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan. Aku tahu, ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami tak kuasa berkata-kata.

"Bukan kata-kata atau kekayaan yang diwariskan ayah untuk anak-anaknya. Namun sesuatu yang tak terucapkan, yaitu teladan sebagai seorang pria dan ayah." - Will Rogers.

Sumber : http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t41231
Silahkan Bagikan jika bermanfaat...

0 comments:

Post a Comment